Jatah Orang Diam
Sekolahannya terletak di pinggir jalan raya, jalur utama (desa), berada di alun-alun desa, karena bersebelahan dengan lapangan desa. Lokal kelas dan kantornya posisinya berjejer satu arah, lurus seperti angka 1. Unik memang. Tidak ada lokal yang saling berhadapan, saling membelakangi, saling siku. Persis lurus gitu. Semua menghadap ke utara, menghadap ke lapangan desa yang kalau kita lewat di jalan raya depan, maka seluruh SD akan kelihatan. Gurunya sudah “rawuh” belum, dengan tanda kendaraan bermotornya ada atau tidak di depan kantor. Siswanya sudah datang belum, dengan tanda sangat jelas anak-anak bermain di lapangan. Sekolahnya aktif atau belum, dengan tanda pintu-pintu lokal terbuka dan kelihatan ada penghuninya. Semisal ada “pejabat” atau pemerhati pendidikan melintas di jalan raya, pasti berkomentar (minimal dalam hati). Begitupun wali murid jika guru-gurunya belum “rawuh” maka “pasti” akan tahu dan berkomentar di belakang layar. Iya sekolahan tidak berpagar. Semua ber-hak mengawal.
Di sanalah tadi aku mengikuti rapat KKG PAI. Jadwal jam 9, namun aku baru sampai jam 9.40, maklum dengan kebiasaan “jam karet”. Tampaknya hampir semua berpikiran demikian.
“Halah, undangan jam 9 paling engko lekas e jam 10”, kira-kira seperti itu “pemikiran” kebanyakan.
Namun hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan style-ku. Aku orangnya sangat menghormati waktu. Apalagi jam-jam dinas. Kalau aku umumkan pelajaran dimulai jam 8, maka tepat jam 8 kelas sudah aku mulai. Begitupun kalau ada tugas, janji, yang aku jadwalnya aku tentukan, maka akan tepat waktu. Semisal acara yang menuntut kehadiran orang lain, maka “ada tidak ada” orang yang hadir PASTI acara tetap dimulai dan dilaksanakan. Ya itulah aku. Tapi “maaf” hal ini tidak berlaku untuk waktu sholat. Ya, kadang tidak tepat waktu, tidak di awal waktu juga (tentu alasan utamanya malas). Terus berusaha ku perbaiki.
Acara di mulai dengan membaca “tahlil”, kirim doa kepada ahli kubur, mendoakan para sesepuh atau senior. Unik memang. Dan aku baru menemukan acara formal yang ada di isi acara non formal, ya di KKG sini. Aku sudah 2 kali mengikuti, dan semuanya sama format acaranya. “Tahlilan dulu”.
Aku sedikit heran juga, tapi aku segera memaklumi karena wilayah ini termasuk wilayah “kaum” atau wilayah santri. Guru Agamanya “mayoritas” mempunyai basic pesantren. Kitab kuning klasik menjadi pedoman dalam proses pengajaran, dan tentu tidak lepas dari materi-materi keagamaan dari Kementrian Agama. Pondok Sumbersari, Pondok Ringinagung, Pondok Trertek, Pondok Kencong, Pondok Kwagean, dan Pondok Kepung serta masih banyak pondok lainnya berada di wilayah ini. Meskipun secara administrasi bukan satu kecamatan, namun masih satu wilayah “jangkauan”.
“Guru Agama di sini ngajinya bagus-bagus, jago-jago”, pikirku ketika awal mula masuk wilayah ini.
“Santri-santri”.
Rangkaian selanjutnya adalah pengarahan dari Bapak Pengawas Pendidikan Agama, yang berwenang menambah – mengurangi, mengawasi – menegur, sekaligus memberikan solusi seputar permasalahan Guru Agama.
“Saya mau berpesan kepada Bapak Ibu Guru”, Bapak Pengawas memulai pesannya.
“Yang pertama, Tolong perhatikan terkait dengan akhlak anak”.
“Akhlak yang pertama adalah akhlak kepada Alloh, yaitu tentang ibadahnya. Ibadah yang paling mendasar adalah terkait dengan sholat. Setelah sekian lama kita belajar daring, bacaan sholat anak banyak yang lupa. Di rumah kadangkala orang tua acuh tak acuh, bahkan mereka tidak sholat, mereka sibuk dengan acaranya sendiri. Inilah yang banyak.”
“Jadi tolong, jangan segan-segan mengulang bacaan sholat anak meskipun berada di kelas atas”.
“Akhlak yang kedua adalah akhlak kepada sesama, terutama kepada bapak dan ibu gurunya. Banyak anak yang sudah mulai luntur kesopanannya. Guru di anggap temannya sendiri. Ketemu guru bukannya bersikap sopan dengan menyapa, tapi malah menghindar. Kalau orang Jawa bilang tatakramanya sudah hilang”.
“Terus yang kedua adalah Bapak Ibu juga harus memperhatikan terkait dengan administrasi dengan Pemerintah. Ada EMIS ada SIAGA. Prinsip mengajar dengan ikhlas tentu juga harus dibarengi dengan tertib aturan. Mungkin ini bagi sebagian guru hal sepele, namun ini sangat penting bagi pendidikan keagamaan. Data keagamaan di Kementrian. Jumlah siswa dan guru terdata. Rasio nya terdeteksi. Biasanya akan kerepotan sendiri jika sudah ada insentif dari Pemerintah. Mendadak mengisi semua. Perbaiki per semester data tersebut. Khususnya bagi guru-guru muda yang melek teknologi. Informasi terbuka. Biasanya guru agama meremehkan hal demikian. Penting mengajar, rejeki sudah diatur.”
“Ingat ya Bapak Ibu, anda adalah Guru di sekolah formal, tentunya ikutilah aturannya”.
Kira-kira seperti itulah hal yang disampaikan Bapak Pengawas.
“Alkhamdulillah, pesan Pak Pengawas aku sudah melaksanakan sejak dulu”, pikirku dalam hati.
Acara selanjutnya adalah surprise. Pengurus “BAZIS” Kecamatan menginginkan regenerasi. Aku dari awal niat hadir di rapat ini, akan diam saja selama acara. Takut dibilang kritis. Iya selama acara aku hanya mendengarkan sambil makan cemilan plus mainan HP saja. Buka medsos. Kebiasaan yang sudah tertanam di setiap orang. Padahal hal tersebut banyak TIDAK pentingnya dan TIDAK ada hubungannya dengan kita. Lebih penting yang berada di dekat kita. Live dan Nyata. Ya! Yang banyak tidak dihiraukan ketika sudah bawa HP Android. Termasuk aku.
Maka tepat jika ada pernyataan, HP bisa jadi teman bisa jadi lawan.
Ternyata yang aku pikirkan menjadi kenyataan, aku diam mesti tetap kena juga. Iya aku tertunjuk jadi Ketua 2 Bazis Kecamatan periode 2021-2025 mendampingi senior yang jadi Ketua 1.
Aku cuma komentar,” ini bisa diganti sewaktu-waktu kan???”, iya aku sudah niat diam sejak awal dan karena mutasi sudah aku rencanakan 1 tahun ke depan.
“Ini sudah di dok”, jawab pengurus.
Aku hanya tertawa saja.
“Mungkin ini nanti ada hikmahnya’, pikirku.
Diam ku lanjutkan.
Selanjutnya adalah terkait perangkat pembelajaran. Lagi-lagi diamku, dapat balasannya. Setelah dimintai pendapat, aku berikan komentar. Aku kembali diam.
“Pak Priyo mawon yang jadi penangggung jawab”, salah seorang teman mulai berkomentar.
“Waduh”, pikirku.
Aku masih konsisten dengan sikap diamku, tidak banyak komentar. Tidak biasa memang. Soalnya aku terbiasa sering kasih komentar dalam forum.
“Oke Pak Priyo dan Panjenengan (teman yang tadi nunjuk) menjadi penanggung jawab kegiatan ini njeh”, celetuk Bapak Ketua.
Akhirnya deal-lah jadi penanggung jawab.
“Halah, paling ngono thok”, pikirku meremehkan “kegiatan” yang aku tanggung jawabi.
“Nanti kalau aku penanggung jawab, malah tidak tanggung jawab gak apa apa njeh??”, teriak ku. Memecah keheningan. Sambil tertawa lepas.
Iya inilah tragedi hari ini, dalam rapat di sekolah type persegi panjang. Walaupun berusaha diam alias “khumul – dalam literasi agama yang artinya kira-kira bersembunyi”, tetapi kalau emang jatahnya memang tidak bisa menolak. Begitupun berusaha kritis alias “takhadduts bi nikmah – menunjukan kenikmatan”, tetapi kalau emang jatahnya juga tidak bisa menolak pula.
Kalau sudah jatah e mau menolak dengan bergaya apapun ya tetap nerima jatah.
Semanding, 22 Spetember 2021. Ku tulis setelah menemani ngobrol tamu yang datang ke rumah. Ndak nonton TV tapi nonton film di HP. Represing sejenak.

Mantapp pak Priyo.. semangat teruuuss...
BalasHapussiap.. Hahahaha..
BalasHapus