Rejeban -lagi-

 Day 3 : Rejeban -lagi-

Aturan kedinasan : dalam tanda kutip : kulanggar. Bagaimana tidak? Selama 2 hari kerja, aku tidak datang ke kantor. Kantor di sini adalah sekolah induk.

Sebenarnya bagiku pribadi, istilah sekolah induk tidak perlu ada. Kenapa? Karena kalau ada sekolah induk pasti ada sekolah non induk.

Kedua istilah sekolah ini tidak berlaku bagiku. Statusku sudah “sah”, pun dengan beban mengajarku sudah cukup untuk memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Kementrian Agama. 24 jam pelajaran. 6 rombongan belajar. Dengan jumlah siswa sekitar 115 anak.

Jadi pada hari Kamis Jumat, aku tidak datang ke kantor.

Kalau absensi-nya pakai finger print, tentu saja aku terhitung bolos kerja. Absen jenis ini mengharuskan pegawai, pada pagi hari sebelum jam 07.00 sudah harus “tanda tangan” kehadiran. Absen kembali ketika mau pulang, jam 14.00, “bukti” bahwa selama 7 jam kita berada di kantor.

Absen jenis ini terbukti dapat meningkatkan kedisiplinan, ketika masuk dan ketika pulang saja. Rentang 2 waktu itu belum terkontrol secara optimal, perlu kesadaran saja untuk bertugas.

Misalnya gini : bisa saja setelah absen pagi hari, ditinggal kemana gitu. Nanti balik lagi kalau sudah waktunya absen pulang. apakah ada pegawai yang seperti ini? Jawabannya : “ada”.

Jadi kontrol atasan, kontrol hati nurani, yang bisa mengatasinya.

Untunglah ini masih musim pandemi, dinas masih menerapkan pembelajaran tatap muka terbatas. Bahkan di beberapa wilayah, masih daring. “Bolos” kerjaku 2 hari tidak terhitung. Itu tadi karena tidak datang ke kantor.

Pun dengan berangkat “kesiangan”. Belum terhitung.

Pun dengan pulang lebih awal. Belum terhitung.

Pun tidak pernah absen. Belum terhitung.

Gaji pun tetep ditransfer.

Kesadaran pribadi terhadap jabatan, tugas dan tanggung jawab lah yang bisa menghitung. Agar bisa menikmati gaji dengan rasa yang gurih dan mantap serta tentu saja tidak menimbulkan “mala” – baca akibat jelek.


***

Meskipun aku tidak ke kantor, namun aku juga berangkat dari rumah. Berseragam seperti biasa. Bawa perlengkapan seperti biasa. Pun dengan waktu yang sama pula.

Jadi ceritanya : aku dimintai tolong untuk mengajar di suatu sekolah yang tidak jauh dengan kantor (sekolahku). Oleh Bapak Atasanku yang juga menjadi Plt Atasan di sekolah tersebut.

Sekolah ini adalah sekolah besar. Besar jumlah muridnya. Tentu saja sebanding dengan banyak kelasnya. Pun berbanding lurus pula dengan areanya.

Ada 12 rombongan belajar dari 6 kelas. Jadi masing masing tingkat kelas paralel kelas A dan kelas B.

Masing masing rombongan belajarnya juga besar jumlah siswanya. Bahkan 1 tingkat kelas ini bisa setara dengan jumlah murid 1 sekolahan. Kelas 6 ada sekitar 90-an siswa. Kelas 5 ada 80-an siswa. Kelas 4 ada 80-an siswa. itu yang aku ketahui. Karena kelas kelas ini yang aku ajar.

Masing masing diparalel jadi 2 rombongan belajar. Jadi 1 lokal kelas berisi 40-an siswa. Pertama kali aku masuk saja aku kaget. Standar kelas yang biasa aku ajar kan Cuma 20-an. Jarang 30 an.

Eh pernah juga aku mengajar kelas besar. Waktu mengajar di SMK dulu. 1 kelas 40-an siswa. tapi itu masih jaman daring. Belum pernah tatap muka. Sekarang muridku SMK ini sudah kelas 11 (kelas 2 SMK).

Hampir 1 semester, sekolah ini tidak ada yang mengajar agama (khususnya kelas 3 – 6). Ada guru pula yang statusnya juga non sekolah induk, yang mengajar kelas 1 – 2. Jadi yang kosong kelas atas.

Guru agamanya yang asli, bulan Agustus 2021 memasuki masa pensiun. Padahal bulan 5 dan 6 adalah bulan peralihan (non afektif). Pun bulan 7. Makanya bisa dikatakan kosong hampir 1 semester.

Aku mulai membantu di sekolah ini tanggal 25 Nopember 2021. Akhir semester ganjil. Atas “perintah” atasanku.

Jadi secara aturan dinas : aku melanggar.

Tetapi sesuai tanggung jawab guru dan bawahan : aku melaksanakan tugasku.

***

Seperti kisah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq. Gelar ash-shiddiq adalah gelar satu-satunya. Gelar yang patut dibahas terkait dengan Peringatan Isra’ Mi’raj.

Shohabat Abu Bakar memanggil Nabi dengan menyebut kata Sayyidina terlebih dahulu. Yaitu : Sayyidina Muhammad. Bahasa Jawanya : Gusti Kanjeng Nabi Muhammad.

Nabi tidak “kersa” – menghendaki peng-agungan yang demikian. Nabi menyuruh untuk tidak memakai kata tersebut.

Tetapi Shohabat Abu Bakar : melanggar aturan (perintah Nabi) dengan tetap memakai kata Sayyidina. Logikanya : masak memanggil seorang Nabi tanpa memberi awalan penghormatan. Alias : njangkar. Padahal seorang raja saja didahului dengan : Tuanku.

Jadi sesuai aturan dinas : Shohabat Abu Bakar melanggar.

Tetapi sesuai dengan  tanggung jawab shohabat Nabi dan bawahan : Shohabat Abu Bakar sudah sesuai dengan adabnya.

***

Kembali ke laptop.. 

“Anak-anak besok membawa alat sholat. Kita akan Rejeb-an. Kalau mau bawa “berkat”  silahkan asal jangan sampai kelas lain tau. Takut “meri” – baca : kepengen”, bunyi pengumuman yang aku share di group WA kelas 5 B dan 5 A.

Tentu sudah melalui konfirmasi dengan wali kelas masing-masing. Wali kelas pun setuju, bahkan mendukung.

“Kalau tidak mulai hal beginian, tidak bakal jalan Pak, kegiatan keagamaan”, begitu kira-kira jawaban salah satu wali kelas.

Iya beliau adalah wali kelas yang religius. Aku saja yang guru agama, merasa kalah. Bagaimana tidak : awal pelajaran berdoa, baca Asmaul Husna, sholat Dhuha (kadang dengan anak dan yang sering sendiri), pulang sekolah berdoa dengan doa yang jarang dipakai di sekolah dan tentu saja sholat Dhuhur berjama’ah dengan anak-anak.

Iya beliau pernah mengajar di sebuah sekolah di kota Malang. Sekolah yang tidak monoton. Sekolah yang sudah keluar dari doktrin sekolah jadul (yang begitu-begitu saja) yang tidak kreatif.

Beliau ini hampir sama dengan salah satu wali kelas di sekolahku, yang keluar dari mainstream sekolah jadul. Beliau pernah mengajar di sekolah favorit. Sudah ada kreatifitas dan inovasi. Iya sholat Dhuha yang tidak bergantung guru agama.

Jadi apa yang ada di sekolah favorit di adopsi.

Keduanya sudah PNS. Dan memang begitulah seharusnya PNS, keluar dari zona “nyaman” alias keluar dari zona yang pokok kerja - gaji ditransfer. Harus kreatif dan inovatif.

Dan aku sebagai guru agama harus bisa lebih kreatif dan lebih inovatif. Masih terngiang di telingaku apa yang disampaikan temanku ketika ada diskusi di kelas Pasca Sarjana : “guru – guru PNS sudah terlanjur di zona nyaman jadi kurang kreatif dan inovatif, sehingga banyak sekolah negeri yang kehilangan murid dan hampir gulung tikar, di salip sekolah swasta baru (berbasis keagamaan).”

Tiba tiba.. 

“Pak P, ini saya di utus Ibu, kasihkan ke guru agamanya, kata Ibu saya”, seorang siswa menghampiri sambil membawa nasi kotak.

“Lho.. kalau gitu sampaikan salam buat Ibunya, makasih ya”.

Kegiatan Rejeb-an, di mana mana memang penuh dengan berkat. Dan ini adalah kegiatan di hari ke 3-ku. Jum’at, 4 Maret 2022.

Dapat ilmu – dapat pahala – dapat berkat.

Tampaknya kreatif dan inovatif itu wajib.

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Niat Sholat Musafir

Era Digital dan Ke-Wali-an

Sekelumit (Sejarah) Al Khidmah di Kec. Wates (Skripsi 2015)