Antara Merger dan Perubahan
Dunia pendidikan setingkat SD dalam beberapa tahun terakhir boleh dikata mengalami banyak perubahan bahkan mungkin lebih tepatnya pergeseran paradigma. Fenomena yang jelas terjadi adalah menurunnya secara drastis jumlah peminat di SD Negeri. Efek dari fenomena ini adalah banyaknya SD Negeri yang dimerger. Dahulu dalam satu desa, seringkali kita mendengar ada beberapa SD ~ mulai dari sini penyebutan SD adalah untuk SD berstatus Negeri. Di desa asal kami, dahulu ada 4 lembaga, sekarang menjadi 3 lembaga SD. Di desa sebelah, dahulu ada 3 lembaga, sekarang menjadi 1 lembaga. Bergeser agak jauh sedikit, masih dalam kecamatan yang sama, juga ada lembaga SD yang di merger. Ternyata fenomena ini, hampir merata di beberapa wilayah. Baik kecamatan dalam kabupaten yang sama dengan penulis, maupun di kabupaten lain.
Kami, tertarik menulis ini sebenarnya juga berawal dari "isu" merger 2 lembaga SD yang berada di wilayah penulis bertugas.Setahun lalu, isu merger 2 lembaga yang dimaksud sudah mulai terdengar. Sebagai imbas dari jumlah peserta didik yang total kelas 1 hingga kelas 6 di bawah 100 anak. Ini artinya, rata-rata dalam 1 kelas ada 15 peserta didik. Ideal memang. Tp efisiensi "kebijakan dan anggaran", tunggu dulu. Padahal di sisi lain, Dinas Pendidikan sedang mengevaluasi sarana dan prasarana bagi lembaga SD. Dan akan siap melengkapinya. Eh sorry.. Kami tidak sedang membahas ini.
Setahun pelajaran berlalu, isu ini kembali terdengar dan masuk dalam pembahasan "petinggi". Merger ini mempunyai konsekensi nyata. Pertama, bangunan dan tanah mungkin saja menjadi bongkor. Nganggur dengan bahasa yang sedikit sopan. Angker dengan bahasa yang horor. Alih fungsi dengan bahasa kedinasan. Istilah yg terakhir ini merupakan penyebutan yang pantas dan mungkin jalan keluar terbaik.Kedua, Tenaga Pendidik dan Kependidikan harus diberdayakan. Bagi yang berstatus ASN, tentu harus diberi penempatan baru. Bagi yang GTT, tergantung kebijakan "petinggi". Ini hanya sudut pandang, penulis sebagai seorang guru. Dan ini bukan bahasan utama.
Media informasi yang tidak terbendung dan terkontrol alurnya, seakan ikut memeriahkan fenomena sepinya peminat di lembaga SD. Tiap tahun ajaran baru, hampir bisa dipastikan ada berita bahwa ada SD yang tidak mendapatkan pendaftar. Sedikit lebih baik, pendaftar kelas 1 hanya kurang dari 5 anak. Terus berkembang dengan kelas yang hanya ada 1 siswa. Berita ini pasti menjadi viral. Yang menarik adalah komentar dari netizen. Netizen yang tidak pernah salah dan tak mau kalah, seakan akan bertindak sebagai hakim yang memutuskan penyebab fenomena tersebut. Bahkan yang bijak, turut memberikan opininya, yang bertindak seolah sebagai pakar pendidikan. Netizen yang sedikit kritis, memberikan saran kepada pemerintah agar segera mengevaluasi berjalannya proses pendidikan di SD tersebut. Penulis berusaha merangkum komentar dari netizen tersebut. Ini hanya berdasarkan pengalaman yang menjadi data empirik dari catatan ini. Catat.. hanya pengalaman!
***
Fenomena sepinya pendaftar di lembaga SD ini, kalau kita amati pasti dibarengi dengan fenomena membludaknya pendaftar di lembaga SD Swasta, Madrasah Ibtidaiyah (MI) baik Negeri maupun Swasta. Dan kemungkinan kecil mendaftar di lembaga SD yang memang SD inti ~ sudah maju, sudah besar ~, jadi yang ini hanya pengaruh dari nama besarnya lembaga tersebut. Penulis menyebut demikian karena ternyata lambat laun, peminat di lembaga SD inti ini, juga menurun. Ternyata sekarang masyarakat lebih selektif memilih lembaga bagi putra putrinya. Mereka sudah mulai kritis terhadap segala sesuatu yang di lembaga SD. Salah satunya adalah program di lembaga tersebut.
Mayoritas penduduk negara kita yang beragama Islam, menjadi sudut pandang penulis dalam mengkritisi fenomena ini. Di wilayah penulis, mayoritas siswa yang berusia SD sederajat adalah muslim. Jadi lembaga yang surplus pendaftar ini ternyata adalah lembaga yang berbasis religius. Ada yayasan yang berbasis pesantren mendirikan SD Islam atau MI. Ada pula yayasan atau lembaga yang berbasis organisasi keislaman juga mendirikan SD, yang kemudian di beri nama sesuai ide pendiri atau penggagasnya. Jadi dari sini sudah tampak, daya tarik utama lembaga tersebut adalah program keagamaannya. Budaya religius dibangun dalam keseharian lembaga. Bahkan jam belajar anak anak hampir bisa dipastikan melebihi jam belajar anak anak di lembaga SD. Ingat! sekali lagi lembaga SD yang penulis maksud adalah SD Negeri. Imbasnya jam belajar tersebut juga berimbas juga pada jam kerja pengajarnya.
Pengajar di lembaga ini, bisa dikata merupakan pengajar yang kebanyakan fresh graduate. Jika bukan fresh graduate, juga bisa dipastikan mereka adalah pengajar yang punya integritas tinggi terhadap pendidikan. Walaupun awalnya mereka pengajar biasa, pasti oleh Lembaga, Yayasan atau Organisasi yang menaungi akan di doktrin dengan nilai nilai integritas dalam pendidikan. Padahal "mungkin" dan kebanyakan, honor mereka jauh di bawah pengajar SD berstatus ASN. Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa integritas pengajar juga sangat mempengaruhi daya tarik sebuah lembaga pendidikan. Selain faktor program yang ditawarkan tentunya.
***
Apakah fenomena sepinya pendaftar di lembaga SD ini bisa dihentikan??? Jawabannya tentu tidak bisa dan mungkin saja bisa ~walaupun sulit~. Itu semua tergantung dari lembaga SD tersebut. Pembahasan kebijakan pemerintah, tentu sangat jauh untuk bisa penulis bahas. Jadi kita abaikan dulu. Tidak bisa dihentikan, karena sudah terlanjur menjadi fenomena yang sudah mengakar dalam masyarakat. Masyarakat sudah paham bahwa secara basis religius, program lembaga dan integritas pengajar di lembaga SD pasti jauh tertinggal dengan lembaga berbasis keagamaan yang dimaksud. Masyarakat sudah lama menilai lembaga SD baik program maupun pengajarnya. Citra lembaga SD mungkin bagi sebagian besar masyarakat, jauh di bawah lembaga Swasta. Padahal perlu kita catat bahwa biaya sekolah di lembaga swasta itu jauh lebih mahal dibanding dengan lembaga SD. Ternyata benar, produk dengan kualitas TOP meskipun dengan harga mahal tetap menjadi pilihan konsumen.
Selanjutnya adalah pilihan lembaga SD mau berbenah atau tidak. Lingkup terkecil adalah pribadi atau integritas pengajarnya, mau stagnan dengan apa yang sudah dijalani selama ini atau mau berubah. Penulis masih ingat, sebuah diskusi di kelas Pasca Sarjana IAI Tribakti sekitar tahun 2016 / 2017 yang berkonsetrasi dalam Pendidikan Agama Islam, ada seorang kawan mahasiswa yang mengungkapkan dengan kalimat "Guru PNS terlanjur berada di zona nyaman". Argumennya dibangun dengan landasan empirik yang dialaminya, sebagai pengajar di 2 lembaga yang berbeda latar belakang, pesantren dan negeri. Penulis pun mengamini fenomena
zona nyaman ini. Apalagi sejak 2021 awal penulis menjadi PNS, penulis merasakan zona nyaman ini. Perlu diketahui, penulis menjadi guru di lembaga SD sejak awal 2015. Sekian tahun, sudah cukup menjadi data yang riil, yang faktual, yang bisa dirumuskan menjadi sebuah konsep argumen "Zona Nyaman" bagi PNS ini.
Integritas pengajar ternyata juga berbanding lurus dengan program-program yang ditawarkan oleh lembaga SD. Program yang ditawarkan harus bisa mengimbangi dan mengejar program yang ditawarkan oleh lembaga swasta. Salah satunya adalah program berbasis religi. Mau tidak mau, lembaga SD harus membuat program yang daya tariknya cukup untuk menarik minat masyarakat. Masyarakat yang terlanjur cinta dengan program yang ditawarkan oleh lembaga swasta harus menjadi catatan serius bagi lembaga SD. Menggunakan istilah ABG, lembaga SD harus bisa menikung. Salah satu caranya, membangun citra lembaga yang juga berbasis religi. Apakah ini tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah? TIDAK. Bahkan pemerintah mengamini dengan program lembaga berbasis religi, sebut saja ada SBR (Sekolah Berbudaya Religi) dan SRC (School Religius Culture).
Citra lembaga SD harus dibangun kembali dalam rangka mengimbangi lembaga swasta. Bahkan sebenarnya mungkin saja bisa lebih unggul, karena sangat jelas backing-nya adalah pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah melalui kebijakan serta program-programnya mungkin juga menjadi "bumerang" bagi lembaga SD. Namun sekali lagi, otoritas lembaga sangat menentukan keberhasilan membangun citra lembaga. Sebenarnya hal ini juga disadari oleh otoritas lembaga, yang berkaitan langsung adalah para pengajarnya. Penulis mendapati banyak sekali, wali murid yang berlatar belakang pengajar baik PNS maupun GTT di lembaga SD yang mendaftarkan putra putrinya di lembaga swasta. Bahkan penulis pernah mewawancarai langsung yang bersangkutan, alasan biaya mahal, jarak tempuh jauh tidak menjadi penghalang mereka menyekolahkan putra putrinya di lembaga swasta. Bahkan membandingkan langsung kualitas pengajarnya serta program yang ditawarkan. Tampaknya mereka lupa, sebenarnya hal yang demikian, sama saja mengoreksi diri mereka sendiri. Bahkan mungkin juga, mereka menyadari "kelemahan dan kesalahannya", hanya saja tidak mau berubah. Sekarang tinggal kita renungkan.. Pilih mana..
Terakhir, sebuah kaidah dalam bahasa arab:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ باالجديد الأصلح
yang kurang lebih artinya "melestarikan hal hal yang sudah baik, dan mengadopsi hal hal baru yang lebih baik". Jadi alangkah baiknya kita terus berinovasi dan berkreasi dengan ide ide yang membawa perubahan ke arah lebih. Bukankah hal ini juga menjadi ajaran Nabi :
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Artinya: "Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (HR Hakim).
Sekarang tinggal kita renungkan.. Pilih mana..
Kediri, 1 Desember 2024

Komentar
Posting Komentar